Opini

Pilkada 2024 dan Urgensi Pendidikan Politik

Pilkada merupakan sarana suksesi kepemimpinan di tingkat lokal (provinsi, kabupaten, dan kota madya) secara demokratik dengan aturan pelaksanaan dan pembiayaan yang jelas. Pentingnya suksesi kepemimpinan di tingkat lokal akan tercermin dengan semakin tingginya partisipasi pemilih. Tingginya partisipasi pemilih dapat diupayakan dengan pendidikan politik yang memadai, dengan demikian pendidikan politik menjadi sebuah tema yang urgen dalam Pilkada 2024. Tingginya partisipasi pemilih menjadi bagian penting dalam menilai kualitas pilkada. Sementara  itu partisipasi pemilih diharapkan semakin besar untuk tumbuhnya pemilih rasional sebagai pilarnya. Varian pemilih rasional, sebagai salah satu pilar utama yang akan berpengaruh besar terhadap seluruh proses demokrasi. Pemilih rasional ini berproses melalui sebuah proses yang tidak ringan karena dihadapkan pada faktor-faktor yang dapat membentuk varian pemilih lain secara bersamaan  yaitu pengaruh ideologi partai, tradisi dan ikatan emosional serta ikatan sosiologis.  Oleh karena itu, pendidikan politik menjadi basis utama guna menumbuhsuburkan varian pemilih rasional dalam dinamika politik kita termasuk proses Pilkada 2024 Kita mengenal varian pemilih rasional, satu diantara beragam jenis pemilih lain yang lazim kita kenal seperti pemilih yang berbasis pada ikatan ideologis, sosiologis, agama, emosional serta ikatan-ikatan lain yang tumbuh dalam ruang sosial-politik kita.  Ragam jenis pemilih muncul karena adanya keragaman “atas dasar apa pemilih menentukan pilihannya”. Pemilih rasional merupakan varian yang diharapkan menjadi varian dominan karena pemilih tipe ini memberikan pilihannya berbasis pertimbangan rasio/akal sehingga dianggap lebih mampu melihat calon serta dinamika proses sosial-politik secara lebih obyektif dari sudut pandang kompetensi, rekam jejak dan profesionalitas. Untuk mencapai jumlah  pemilih yang rasional sebagai varian yang dominan maka diperlukan pendidikan politik. Pendidikan politk diarahkan agar pemilih mampu melihat dan bereakasi atas peristiwa politik, termasuk peristiwa pilkada. Pendidikan politik yang baik akan menciptakan civil society yang kuat yang mampu mengimbangi dan mengontrol peran negara dan lembaga-lembaga politik konvensional. Sebagaimana proses politik lainnya, peristiwa Pilkada serentak tahun 2024 ini juga dapat dicermati oleh pemilih rasional dari tiga dimensi. Ketiganya adalah dimensi selection, dimensi election dan dimensi post-pilkada yaitu legacy.   Pendidikan Politik Proses pendidikan politik bagi pemilih ini tidak hanya menjadi tanggung jawab KPU, Bawaslu, Partai Politik atau Pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Alasannya adalah, bahwa dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan banyak hal yang ditentukan melalui mekanisme politik. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan ketika pendidikan politik menjadi urgensi bersama, menjadi titik konvergensi untuk mengarahkan pada situasi politik yang demokratik dalam jangka panjang. Urgensi pendidikan politik sejalan dengan tujuan, prinsip dasar, proses dan  fungsinya seperti yang dijelaskan para pakar berikut ini. Alfian  menguraikan arti pendidikan politik yang lebih dalam yakni pendidikan politik sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Menurut Kartini Kartono  pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam pencapaian tujuan politik. Sementara Rusadi Kantaprawira  memandang bahwa pendidikan politik sebagai upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya, sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi. Kosasih Djahiri  menyatakan bahwa pendidikan politik adalah pendidikan atau bimbingan, pembinaan warga negara suatu negara untuk memahami mencintai dan memiliki rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap bangsa negara dan seluruh perangkat sistem maupun kelembagaan yang ada. Salah satu sasaran pendidikan politik yang strategis adalah segmen pemilih generasi millennial dan generasi Z. Generasi ini mempunyai cara berfikir, cara bertindak dan cara memilih yang unik sesuai sudut padang zamannya sebagai digital native generation. Tetapi secara usia tentu saja mereka belum berpengalaman dalam partisipasi pada peristiwa pilkada yang mereka temui di tahun 2024 ini. Sehingga perlu upaya sistematis untuk mengenalkan mereka pada peristiwa Pilkada. Oleh karena itu diperlukan pendidikan politik sebagai upaya sistematis tersebut. Adapun tujuan utama pendidikan politik tersebut adalah untuk membentuk varian pemilih yang rasional, pemilih yang partisipatif dan peka terhadap proses politik baik yang berada dalam dimensi seleksi politik, election maupun legacy yang dihasilkan oleh institusi-institusi dari produk mekanisme demokrasi. Berdasarkan ruang lingkup sosialisanya, maka upaya ini sangat strategis jika diarahkan pada pemilih pemula baik mahasiswa, siswa SMU/SMK, aktivis karang taruna di desa-desa dan kalangan santriwan-santriwati di berbagai pondok pesantren. Dan salah satu ciri keberhasilan pendidikan politik adalah, meningkatnya secara kuantitatif prosentase pemilih setiap kali pelaksanaannya. Prosentase yang meningkat setidaknya menunjukkan meningkatnya partisipasi pemilih sehingga paralel juga dengan meningkatnya kualitas Pilkada 2024. Penulis : Ahmad Mustakim, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU Blora.

Partisipasi Pemilih Pemula dalam Pilkada 2024

Blora – Pilkada baik Pilgub maupun Pilbup merupakan siklus suksesi kepemimpinan pada tingkat lokal dalam sebuah mekanisme demokratik, sebagai prosedur untuk menyalurkan suara atau aspirasi pemilih. Partisipasi pemilih dalam mekanisme demokratik ini sangat penting karena menentukan kualitas dan legitimasi hasil pilkada. Salah satu pekerjaan rumah bersama dalam meningkatkan partisipasi pemilih adalah dengan mengupayakan partisipasi pemilih pemula dalam pilkada pada proporsi yang cukup tinggi.   Pemilih Pemula dan Kualitas Pilkada Setiap kali proses pilkada bahkan proses pemilu lainnya juga, selalu ada urgensi untuk pengarusutamaan kualitas hasil pilkada atau pemilu, baik kualitas pemilih rasional yang makin meningkat jumlahnya maupun kualitas hasil mereka yang telah dipilih untuk memenuhi ekspektasi pemilihnya. Kualitas hasil pemilu (tingginya prosentase pemilih, tingginya proporsi pemilih rasional dan tingginya kompetensi mereka yang terpilih) paralel atau berbanding lurus dengan tingkat legitimasi pemilu atau pilkada. Kualitas pemilu atau  pilkada  didalamnya terdapat beberapa varibel antara lain kualitas penyelenggaraan atau pelaksanaan (dimensi normative atau prosedural) dan kualitas hasil (dimensi substantif) pilihan. Pada kedua variabel tersebut,  tingkat partisipasi pemilih merupakan convergention factor yang signifikan berpengaruh di kedua variabel. Sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi partisipasi pemilih maka semakin tinggi kualitas legitimasinya dan dengan sendiri kualitas pemilu atau pilkadanya. Salah satu pekerjaan rumah bersama untuk meningkatkan partisipasi pemilih adalah partisipasi pada pemilih pemula pada prosentase yang tinggi. Pemilih pemula merupakan aset dan sumber daya jangka panjang yang akan memikul tanggung jawab terpelihara dan terlaksananya mekanisme demokratik. Mekanisme demokratik menjadi platform dalam memproses hak warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam konteks pilkada maka hak memilih dan dipilih digunakan untuk menentukan pos top executive dalam struktur pemerintahan atau lembaga eksekutif. Baik lembaga eksekutif ditingkat provinsi maupun kabupaten keduanya mempunyai signifikansi yang sangat besar dalam menentukan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga memilih siapa yang dikehendaki menjadi top executive pada keduanya tentu saja sebagai sesuatu yang sangat krusial. Urgensi peningkatan partisipasi pemilih pemula ditujukan agar secara kuantitatif tingkat partisipasi kelompok ini tinggi prosentasenya. Dan secara kualitatif  partisipasi pemilih pemula berbasis pada besarnya tipologi pemilih rasional yang  tumbuh dalam kelompok ini. Tipologi pemilih rasional yang muncul dalam jumlah besar merupakan sebuah proses yang sebagian diantaranya dihasilkan melalui pendidikan politik yang berkualitas. Tingginya prosentase pemilih rasional akan berperan besar dalam penentuan tingginya kuantitas pemilih (penggunaan hak pilih saat pilkada). Dengan demikian pemilih rasional merupakan vooter core  dari  sisi kuantitatif sekaligus kualitatif dalam pelaksanaan pilkada. Oleh karena itu pendidikan politik merupakan pintu masuk untuk menumbuhkan pemilih rasional dari segmen kelompok pemilih pemula ini. Pertanyaan konvensional dalam diskursus pendidikan politik bagi pemilih pemula adalah, siapa yang bertanggung jawab melaksanakannya ? Secara normatif dan prosedural karena berkaitan dengan alokasi anggaran maka tugas ini dapat dipikul bersama antara KPU, BAWASLU dan KESBANGPOL. Ketiga institusi ini secara tematik dapat melakukan fungsi pendidikan politik sesuai tugas institusinya. KPU misalnya, pendidikan politik dapat dilakukan berbagai model seperti dengan FGD, Seminar, diskusi Publik maupun Workshop tentang bagaimana pemilih pemula menggunakan haknya dalam pilkada. Juga bisa saja tugas ini misalnya secara persuasif disampaikan pada pemilih pemula oleh petugas bersamaan dengan pendaftaran dan pemberian undangan pada pemilih. Yang terpenting adalah upaya penyampaian informasi hingga ke tiap pemilih pemula. Adapun secara etik, pendidikan politik ini juga merupakan bagian dari visi, misi, tujuan dan program kerja dari setiap partai politik. Partai politik dapat mengambil proporsi yang besar karena berkepentingan untuk menyampaikan kekhasan pikiran dan program politiknya kepada publik. Sekaligus sebagai bagian dari proses kaderisasi yang meruapakan proses strategis untuk pendulangan suara dan reorganisasi politik dalam jangka panjang. Tentang materi dan strategi pendidikan politik bagi pemilih pemula ini tentu saja harus mempertimbangkan kondisi psikologis dan model komunikasi yang sesuai. Termasuk didalamnya membangun cara komunikasi politik yang dapat menarik minat pemilih pemula karena gaya komunikasi dan interest pada politik tiap generasi berbeda, termasuk pada pemilih pemula. Penulis : Ahmad Mustakim (Kadiv Sosdiklih Parmas dan SDM KPU Kabupaten Blora)

Maskot Sebagai Simbol untuk Strategi Konsolidasi dan Branding Pilkada

Maskot Sebagai Simbol untuk Strategi Konsolidasi dan Branding Pilkada Ahmad Mustakim, Komisioner KPU Kabupaten Blora            Menyambut Pilkada pada bulan November 2024 secara serentak setiap KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota melaunching Maskot Pilkada. Lazimnya Maskot diangkat dari unsur keunikan  yang ada pada daerah tersebut. Unsur keunikan yang kemudian diangkat menjadi maskot secara sosiologis berfungsi sebagai simbol. Diantara fungsi simbol adalah sebagai bagian strategi konsolidasi internal dan strategi branding program kepada eksternal. Kekuatan Simbol          Secara etimologis istilah simbol berasal dari bahasa Yunani, yakni kata symboion dari syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut. Secara sosiologis Simbol mempunyai kekuatan karena ia dikreasikan untuk mengikat kelompok, mengarahkan dan menggerakkan kelompok secara kolektif (solidaritas, motivasi dan sumber daya yang dimiliki). Simbol dapat mewakili sesuatu yang lebih besar dalam sebuah konstruksi antara yang abstrak dengan yang realistis, antara yang imajiner dengan yang faktual, antara alam sadar dan alam bawah sadar. Simbol hidup dan memrankan fungsinya diantara individu dengan masyarakat yang melingkupinya.          Dalam komunikasi simbol dapat memainkan peran, sekalipun misalnya ia dalam posisi diam. Diamnya simbol sebenarnya mengomunikasikan sebuah makna adanya relasi antara individu dengan masyarakatnya.  Pola interaksi seringkali diarahkan meskipun tidak secara total oleh simbol. Erwin Goodenough mendefinisikan simbol sebagai sebuah penciptaan pola berfikir dan perilaku yang apa pun sebabnya, bekerja pada manusia dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu. Goodenough menambahkan bahwa simbol memiliki maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri untuk menggerakan kita.          Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari hasil interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertertu. Melalui interaksi dengan orang lain individu-individu akan mengembangkan konsep dirinya sendiri. konsep diri ini akan membentuk perilaku individu. Dalam kajian teori interaksionis simbolik, George Hebert Mead menekankan  keberadaan simbol digunakan untuk memaknai berbagai hal. Dengan kata lain, simbol merupakan representasi dari pesan yang dikomunikasikan kepada publik. Makna tidak tumbuh dari proses mental soliter/individu semata  namun merupakan hasil dari interaksi sosial atau signifikansi kausal interaksi sosial.          Individu dalam sebuah ruang sosial secara mental tidak hanya menciptakan makna dan simbol semata, melainkan juga ada proses pembelajaran atas makna dan simbol tersebut selama berlangsungnya interaksi sosial.  Simbol adalah objek sosial yang digunakan untuk merepresentasikan apa-apa yang disepakati bisa direpresentasikan oleh simbol tersebut. Penggunaan simbol tidak mungkin  mengabaikan gagasan yang menghubungkan  antara simbol  dan interaksi. Hubungan fungsi simbol dengan interaksi antara individu dengan ruang sosial yang melingkupinya dengan tepat pada pepatah luhur Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung. Simbol sebagai bagian instrumen untuk mengarahkan kemana masyarakat akan bergerak atau mencapai tujuan yang diinginkan bersama.          Karena simbol mempunyai pengaruh dalam komunikasi dan alat memengaruhi individu dan masyarakat maka simbol secara langsung dapat difungsikan sebagai bagian penting strategi branding. Karena simbol dapat menjadi alat yang kuat untuk merangsang daya imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sebuah simbol pun pada umumnya disepakati sebagai sesuatu yang tidak berusaha. Simbol memiliki peran penting dalam strategi pemasaran karena ia menjadi representasi visual dari identitas merek dan dapat memengaruhi persepsi konsumen terhadap merek tersebut. Fungsi utamanyaadalah sebagai alat identifikasi yang membedakan merek dari pesaing di pasar yang kompetitif.         Dengan melihat simbol  tertentu, mereka seharusnya langsung mengaitkannya dengan produk atau layanan tertentu. Simbol dianggap berhasil akan mampu memicu perasaan, nilai, dan pesan dengan hanya sekilas pandang. dengan melihat simbol tertentu maka setiap orang akan berasosiasi terhadap lemabag atau program tertentu. Konsistensi simbol dalam  membantu membangun citra lembaga atau sebuah program tertentu yang kuat dan dapat diandalkan. Dengan demikian simbol dapat menjadi alat komunikasi yang kuat. Bentuk, warna, dan elemen lain yang terdapat dalam simbol dapat menimbulkan citra dan kesan tertentu dari masyarakat yang melihat.          Penggunaaan Maskot dalam Pilkada sepenuhnya menyadari fungsi Maskot merupakan  simbol sebagai penguatan identitas bersama, kesediaan untuk bergerak bersama sekaligus menjual "Agenda Pilkada" sebagai sarana penting suksesi kepemimpinan daerah yang akan membawa pengaruh besar dalam masyarakat.

Sisi Gelap Populisme dan Ancaman pada Demokrasi

Sisi Gelap Populisme dan Ancaman pada Demokrasi Ahmad Mustakim, S.Pd              Populisme secara konsepsi dapat dikenali sebagai gejala adanya kelompok atau kelas pemilih mayoritas, khususnya “silent majority” atau kelompok mayoritas. Populisme sebagai perilaku kelompok seringkali muncul bersamaan dengan munculnya sikap kecewa dan jenuh akan kondisi kehidupan dirasa semakin susah akibat terjadinya distorsi aspirasi dalam kebijakan-kebijakan krusial yang dibuat oleh politisi dominan dan elit berkuasa. Pada tahap ini, kekecewaan pemilih terhadap elit politik menjadi rentan terhadap politisasi strategi populis. Politisi populis akan memanfaatkan keresahan mayoritas sebagai momentum untuk membangun relasi simbolik dan dukungan sosial guna meraup dukungan. Sehingga melahirkan sebuah gejala perilaku politik/konsolidasi menjadi sebuah arus baru bernama populisme.          Populisme sebagai fenomena politik dalam sistem demokrasi mendapatkan perhatian serius dalam diskursus perkembangan demokrasi. Fenomena populisme dalam demokrasi mulai dikenali dan memunculkan beragam bentuk konseptualisasi beserta ragam praktik politik terutama di benua Eropa dan Amerika Latin. Pada kedua wilayah tersebut secara empirik dikenali adanya kelindan gejala dan  pertumbuhan populisme dalam proses-proses formal demokrasi. Naiknya kekuatan populis dalam tampuk pemerintahan yang demokratis ternyata  memengaruhi kualitas perilaku politik dari sebuah rezim yang awalnya dipilih secara demokratik. Perilaku politik berbasis populisme memang tidak dengan sendirinya sebagai anti demokrasi.          Sehingga harus kembali dilihat bagaimana ketika ia berhadapan dengan sudut pandang yang berbeda, sudut pandang etik misalnya. Maka akan bisa dicerna proporsi demokratis dan tidaknya dari aktor-aktor politik tersebut. Sekaligus untuk menengarai potensi ancaman populisme pada ide dasar dan praktik demokrasi.     Potensi ancaman populisme pada demokrasi electoral          Konsepsi demokrasi yang paling mendasar menurut Schumpter adalah model demokrasi elektoral. Dalam ekspresi minimalisnya, istilah ini mengacu pada prosedur persaingan berulang antara elit politik untuk mendapatkan suara, yang bermula dari gagasan kesetaraan politik, yaitu satu orang satu suara. Pada praktiknya sisi gelap populisme oleh Mudde & Rovira Kaltwasser yang mensinyalir bahwa populisme melemahkan institusi inti demokrasi dan yang paling penting juga punya potensi melemahkan  supremasi hukum. Atas nama mayoritas hukum dilampaui. Dan ini mudah sekali ditumpangi untuk kepentingan-kepentingan yang jauh lebih sempit dan kerdil.          Para peneliti seperti  Houle & Kenny yang memfokuskan  perhatian mereka pada norma-norma dan institusi-institusi demokrasi tertentu dan menyimpulkan bahwa populisme adalah sebuah ancaman atau mempunyai potensi perbaikan terhadap institusi-institusi dan prosedur-prosedur demokrasi. Apa yang dapat ditarik kesimpulan sementara dari pendapat para pakar tersebut adalah perlunya sintesis dan perbandingan sistematis mengenai hubungan ambivalen antara populisme dan berbagai model demokrasi. Ambivalensi tersebut dapat terlihat sekaligus dari  dua sudut pandang,baik dari sudut pandang ide maupun situasi empiriknya.          Sudut pandang ide yang mendasari berarti hendak mengomparasikan gagasan awal sekaligus praktik dari demokrasi dengan populisme. Relevansinya karena baik populisme maupun demokrasi, melahirkan seperangkat prinsip dan  norma yang sama-sama berangkat dari kehendak rakyat. Hanya saja populisme memberikan penekanan pada pemosisian mayoritas, sementara demokrasi justru memberi batasan pada mayoritas dengan konstitusi sebagai instrumen pokok dari  bangunan demokrasi. Sementara itu praktik-praktik pemerintahan yang mengklaim sebagai pemerintahan demokratik berada pada sudut pandang empirik. Kedua susdut pandang ini akan memberi penjelasan lebih lengkap tentang hubungan populisme dengan demokrasi.          Dengan meragamkan sudut pandang dengan pendekatan ide dan empirik  kita bisa beralih dari fokus utama pada lembaga-lembaga demokrasi liberal tertentu dan menuju pada penilaian yang lebih beragam mengenai dampak populisme juga pengaryuhnya terhadap konsepsi demokrasi. Praktik populisme dalam pemerintahan demokrasi sangat kentara dalam varian demokrasi liberal yang dipraktikkan di Eropa dan Amerika Latin dengan menggunakan tiga variabel yaitu partai, kabinet dan masa jabatan kepala pemerintahan.          Populisme menurut Ochoa Espejo memang dapat membayangi pemerintahan demokratik menuju pada sentrisme rakyat, dengan fokusnya pada kedaulatan rakyatt. Praktik populisme melemahkan mekanisme akuntabilitas karena yang terpenting adalah terpenting adalah hasil pemilu sebagai otoritas yang ligitimatif yang sangat mendominasi. Memang tidak serta merta harus dikatakan setara  Diktator Mayoritas tetapi memang dapat menjadi gejala awalnya. Harapannya tentu saja pada pemerintahan yang berhasil dibentuk lewat gagasan  populisme lebih  menghargai proses-proses pemilu sebagai alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan keinginan rakyat dan untuk melegitimasi para pemimpin mereka dengan prosedur-prosedur bakunya.          Kecenderungan untuk mengakali proses pemilu karena adanya celah ragam tafsir norma-normanya akan menimbulkan setidaknya kecurigaan dari pihak-pihak yang berads diluar pemerintahan. Populisme dapat menjadi candu dengan mengatasnamakan seluruh tindakannya dengan dalih telah mendapat legitimasi dalam menjalankan otoritasnya.          Populisme secara sosiologis akan menjadi bahaya jika disertai dengan usaha  mengarahkan pada homogenitas sosial yang berarti memosisikan keragaman berpotensi besar untuk mendapatkan labelling "ancaman" masyarakat. Labelling tersebut tentu saja sangat mengganggu dasar-dasar praktik demokrasi seperti sikap kritis, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, keragaman berpendapat, pluralitas. Dalam praktik politik , terutama dalam ranah dinamika wacana , muncul kecenderungan menjelek-jelekkan lawan politik dengan diksi yang demagogis. Pada sisi lain menggambarkan diri mereka sebagai satu-satunya penafsir sah atas keinginan rakyat. Strategi wacana semacam ini semakin meningkatkan resistensi antar kekuatan politik dan berbahaya pada pluralitas sebagai realitas            Kaum populis juga bisa membenarkan tindakan yang mengabaikan prosedur pemilu dan mengacaukan persaingan, sehingga mengancam salah satu ide inti demokrasi elektoral, yaitu adalah keadilan pemilu. Berdasarkan analisis empiris yang dilakukan Saskia Paulline dan Sandra Graham, keduanya  mengkonfirmasi potensi erosi dari pemerintahan populis. Selain itu, kami menemukan bahwa efek korosif populisme ini berkurang seiring dengan semakin kuatnya institusi dan praktik demokrasi di setiap model demokrasi, termasuk demokrasi elektoral.          Beberapa argumen dalam literatur memang menunjukkan bahwa hubungan populisme dengan praktik demokrasi elektoral tidak bersifat  tunggal tetapi adanya  hubungan ambigu antara keduanya yang sama-sama muncul sebagai sistematisasi kehendak rakyat dan tipologi cakupan besaran kehendak rakyat. Ambiguitas ini menurut Mair dan Urbanitti dapat ditelusuri kembali ke ketegangan antara gagasan inti populisme dan model demokrasi yang berbeda, seperti 'kehendak rakyat' dan pemerintahan perwakilan. Demokrasi dengan sifat cairnya memang memberi ruang pada pola gejala kehendak rakyat, salah satunya populisme. Pakar lain telah menyelidiki apakah populisme di pemerintahan atau oposisi menimbulkan ancaman atau perbaikan terhadap kualitas demokrasi liberal misalnya  Juon & Bochsler, dan Vittori. Sementara Canovan dan Laclau masih menyimpan optimisme bahwa dalam perkembangannya populisme akan mengalami proses revisi karena faktor internal maupun eksternal.          Bagaimanapun juga populisme belum sampai pada titik perkembangan terbaiknya sehingga masih selalu berupaya menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Jika upaya untuk terus bersesuaian dengan demokrasi dilakukan terus menerus maka populisme mempunyai potensi untuk memperkuat institusi partisipasi politik dan meningkatkan hubungan perwakilan antara politisi dan warga negara. Hal tersebut dikarenakan dalam demokrasi itu sendiri adalah batas-batas yang tidak mungkin dilampaui populisme. Misalnya prinsip persamaan derajat, keadilan dan prosedur-prosedur baku demokrasi  seperti pemilu dan mekanisme demokrasi langsung.

Populer